By: Ir.
Ciputra
Cerita dibawah
ini adalah pengalaman seorang pengusaha Properti Sukses Ir.Ciputra.
Ibu saya pernah mempunyai 4 anak yang semuanya meninggal
sebelum umur 3 bulan. Oleh sebab itu, ibu saya sangat khawatir jika melahirkan
anak lagi. Kemudian, Ayah Tjie Siem Poe dan Ibu saya Lie Eng Nio berunding,
sehingga telah diputuskan Ayah saya untuk menikah tidak resmi dengan wanita di
kampung sampai kemudian mendapat anak diberi nama Tjie Tjin Lam. Sesudah Tjie
Tjin Lam lahir bertumbuh dengan sehat, maka Ibu saya memberanikan diri untuk
mengandung lagi untuk mendapatkan anak tetapi dengan syarat anak yang lahirkan
tersebut harus dikwepang/ diserahkan kepada orang lain dan dipilih adalah tante
saya, Soe Tjeng Sioe.
Ibu saya mengandung kemudian melahirkan anak perempuan
bernama Tjie Guat Beng, setelah anak itu lahir maka dipelihara/ diberikan
kepada tante Soe Tjeng Sioe, dia yang sangat menyayangi kakak perempuan saya
tersebut dan memelihara dengan baik.
Sesudah itu, Ayah saya pindah dari Gorontalo ke desa Parigi
Sulawesi Tengah membuka toko kelontong dan di sana lah kemudian Ibu saya
melahirkan kakak lelaki saya Akochi dan 2 tahun kemudian setelah itu saya lahir
tahun 1931.
Pada waktu kakak saya usia 8 tahun dan saya 6 tahun, kami di
bawa oleh Ibu kami ke Gorontalo dan dititipkan kepada tante saya yang
memelihara kami untuk masuk sekolah dasar Belanda. Di situ saya bersekolah
selama 2 tahun.Saya hanya suka berhitung, saya tidak suka menghafal bahasa
Belanda. Dari kelas 1 saya bisa naik kelas 2, dari kelas 2 saya tidak bisa naik
kelas 3, karena saya dapat angka jelek di raport tentang berbahasa Belanda.
Saya dididik oleh tante, nenek dan kakek saya dengan keras sekali.Kalau salah
kami di pukul, dikurung di gudang, bahkan pelayan kami pun pernah memukul saya
karena dianggap bersalah tanpa ada perlindungan dari tante saya karena memang
saya nakal dan berani melawan.
Tinggal bersama tante, saya dididik keras, sangat berbekas
pada saya dan merasa menderita.Namun sekarang saya merasa mungkin pendidikan
yang keras mempunyai makna yang positif untuk daya tahan saya dan merupakan
tantangan untuk semangat saya.Sesudah saya umur 8 tahun dan kakak saya 10
tahun, Jepang masuk menjajah Indonesia. Saya dan Kakak di bawa pindah ke
Bumbulan dimana Ayah dan Ibu saya telah pindah ke Bumbulan dan mengurus toko
kelontong milik kakek saya.
Waktu zaman Jepang, saya dan kakak disekolahkan di sekolah
Tiong Hoa di desa kami Bumbulan.Saya hanya bisa naik ke kelas 2 dan tidak dapat
naik kelas tiga karena tidak mau belajar bahasa Tionghoa.Saya nakal sekali dan
ingin hidup bebas.Saya hanya ingin bermain sepak bola, naik kuda dan
sebagainya. Suatu hari saya bangun pukul 5 pagi, saya ambil kuda milik Ayah
saya kemudian balap di tepi pantai di belakang rumah kami. Tetapi,
saya sangat terkejut di atas kuda karena melihat Ayah saya
sudah berdiri di depan pintu belakang rumah kami, ternyata Ayah saya sudah
dibangunkan oleh pelayan, tahu bahwa saya telah balap kuda. Tentu saja Ayah
marah sekali sama saya. Ayah saya selalu mengatakan saya seperti kain pel
lantai dan kakak saya seperti kain serbet yang putih bersih.Padahal saya ke
sekolah terus sehingga menjadi sarjana S1 dalam bidang arsitektur bahkan
mendapat kehormatan gelar Doktor.
Suatu hari Ayah saya meninjau renovasi gudang dan saya
diajak ikut serta pada waktu itu saya berumur 11 tahun dan ketika ayah saya
menyuruh membongkar sebuah balok di gudang tersebut, lalu saya mengatakan
“Papa, kalau balok ini di bongkar maka semua gudang ini akan runtuh” karena di
belakang balok tersebut ada tiang yang lain yang disanggah oleh balok tersebut
yang ayah saya tidak melihatnya. Saat itu pertama kali Ayah saya kaget dan
mereka kagum melihat dan mendengar perkataan saya. Saat kami menjemur kelapa,
saya memberikan komentar juga sehingga Ayah saya senang sekali mendengar itu.
Dari situlah, saya merasa mempunyai bakat untuk membangun.
Khusus tentang penangkapan Ayah saya oleh polisi militer
Jepang atau Kempeitai. Menurut ingatan saya.
Ayah, Ibu dan saya pada tahun 1945 tinggal di desa Bumbulan
Paguat. Pada waktu itu Jepang menduduki Indonesia. Hanya saya sendiri yang
tinnggal di Bumbulan, karena 2 kakak saya yang lain yaitu Tjie Goat Beng dan
Tjie Tjin Hok tinggal dan bersekolah di Gorontalo.
Ayah dan Ibu saya mengurus toko kelontong dan saya pada
waktu itu sudah berhenti bersekolah dari sekolah Tionghoa. Pada waktu Jepang
menduduki Indonesia, pergantian dari pendudukan Belanda ke pendudukan Jepang
penuh pergolakkan yang sangat luar biasa, termasuk di desa kecil kami di
Bumbulan. Ayah dan ibu saya mendengar bahwa beberapa pemuka masyarakat di
Gorontalo mereka
tangkap dengan tuduhan mata-mata Belanda sebagai penghianat
dan rumah mereka di geledah untuk mencari barang-barang berharga oleh Kempeitai
( polisi militer Jepang ) sehingga Ayah dan Ibu saya merasa gelisah, sebab
kemungkinan mereka bisa melakukan hal yang sama di desa kami.
Ibu dan Ayah saya terlihat pasrah apapun yang akan terjadi.
Ibu saya menyimpan perhiasan yang sedikit di bawah lantai kamar tidur yang
terbuat dari kulit pohon Nipah. Kemudian beberapa hari Kempeitai Jepang datang
dengan perahu motor dari Manado tiba di Bumbulan dan mulai menggeledah dan
menangkap yang dianggap pemuka masyarakat mungkin sekitar 7-10 orang. T ermasuk
rumah kami, mereka menggeledah seluruh rumah kami dengan kasar, mereka
membentak-bentak dan mengancam tetapi mereka tidak dapat perhiasan, hanya
mengambil seluruh kain batik milik Ibu saya, dibawa ke kantor polisi bersama
dengan Ayah saya.
Ibu saya dan saya tinggal di rumah, Ibu saya berusaha
menghubungi orang Jepang yang merupakan kepala/ perwakilan Jepang di desa kami
tetapi saya penuh ketakutan jangan sampai Ibu saya ditangkap mereka dan saya
menahan Ibu untuk tidak melapor. Sesudah semua tawanan dikumpulkan di kantor
polisi, maka tiga hari kemudian, satu demi satu digiring ke perahu motor untuk
dibawa ke Manado, termausk Ayah saya. Ayah saya digiring dari kantor polisi
lewat depan rumah kami, memutar ke samping menuju ke perahu yang menunggu di
belakang rumah kami. Pada waktu lewat di tepi rumah kami, kami sangat terkejut
dan Ibu berusaha mengejar Ayah saya untuk dilepaskan oleh kampitai polisi
militer Jepang dan saya menahan Ibu saya agar tidak ditangkap, sehingga kami
tarik tarikan.
Saya berusaha menarik Ibu dan Ibu menarik Ayah saya, tapi
tentu tidak berhasil dan Ibu saya didorong oleh mereka. Dari perahu kecil Ayah
saya dibawah cengkeraman yang ketat dari Kempeitai polisi militer Jepang
tersebut, Ayah saya melihat ke arah kami, dia melambaikan tangan dengan sedih
sekali. Dari perahu kecil dibawa ke perahu motor dan kemudian dibawa ke Manado,
dengan total kira-kira 7-10 orang tawanan, campuran suku Tionghoa dan
Gorontalo. Dari suku Tionghoa adalah pengusaha dan suku Gorontalo adalah pemuka
masyarakat.
Sesudah ditinggalkan Ayah saya, saya dan Ibu saya diliputi
kesedihan dan tiap hari hanya bisa menangis dan berdoa siang dan malam supaya
Ayah saya bisa dibebaskan oleh pemerintah Jepang, tetapi tentu sisa-sia karena
9 bulan kemudian para tawanan yang masih hidup dikembalikan ke Bumbulan dan
beberapa tawanan telah mati termasuk Ayah saya. Menurut cerita teman-temannya,
Ayah saya sudah meninggal 2 bulan sebelum mereka dilepas, berarti ayah saya
berada 7 bulan di penjara. Mereka semua tanpa diperiksa dan diadili, sehingga
maksud penangkapan merupakan sesuatu yang sangat misterius.
Di Bumbulan yang saya ingat yang ditangkap adalah Oei Hok
Sioe, Lie Beng Giok dan Habib Muchsin yaitu kakeknya dari pak Fadel Muhammad
mantan Menteri Kelautan, yang lain saya tidak ingat, saya dengar di seluruh
daerah kabupaten Gorontalo ( Bumbulan hanya salah satu kecamatan ) yang
ditangkap mungkin ada 70 orang. Ayah saya dan Lie Beng Giok meninggal juga di
penjara, sedangkan Oei Hok Lie dan Habib Muchsin kembali ke Bumbulan, yanglain
saya sudah lupa.
* NB: Tulisan ini dari ingatan saya sendiri. Kejadian pada
tahun 1943, jadi 71 tahun yang lalu yaitu pada waktu saya berumur 12 tahun dan
saya sekarang berumur 83 tahun, sudah banyak sekali yang penting-penting lain
saya lupa, tetapi kejadian yang menimpa keluarga kami, yang saya alami sendiri
secara langsung sukar sekali saya lupa, bahkan terus menerus masuk dalam
ingatan saya. Saya sama sekali sudah tidak dendam atau sakit hati kepada
Jepang, sebab saya tahu ini hanya akibat perang dan banyak teman-teman saya
orang Jepang yang sangat ramah dan berbudi baik. Semoga Tuhan memberkati kita
semua.
http://Entrepreneur.bisnis.com